Wednesday, January 26, 2011

Perjuangan Imam Husein Seorang Diri




Husein sendiriSebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.
Dengan kesalnya, Umar bin Sa’ad menggerutu: “Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”
Dia lantas berteriak kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”
Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan. Di saat yang lebih menegangkan itu, beliau tiba-tiba didatangi oleh sehelai surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas pelana kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:
“Salam atasmu wahai hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain. (Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbunuhanmu.”[1]
“Jika engkau menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarangmu, dan urusilah dunia hingga kaum itu binasa.”[2]
Surat itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung merpati. Beliau kemudian berucap kepada Allah: “Ya Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat umat kakekku. Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan Engkaupun juga sudah memberitahuku bahwa sesungguhnya untuk memberikan syafaat itu terdapat suatu derajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah…”[3]
Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh. Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerungi dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai menjadi bulan-bulan menghadapi sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk menghabisi riwayat Imam Husain as.
Di saat-saat Imam dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau melihat seseorang bernama Syimir bin Dzil Jausyan bersama anak buahnya mengendap-mengendap diantara tempat Imam Husain bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau berteriak lantang:
“Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian memang sudah tak beragama, tidak takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan duniawi kalian!”
“Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!” Sergah Syimir.
Imam menjawab: “Yang berperang adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu kaum wanita. Janganlah kalian berbuat sesuatu yang sangat melanggar kehormatanku!”
Syimir menjawab: “Kami tidak akan melanggar kehormatan.”
Manusia kejam ini lalu berteriak kepada pasukannya: “Celakalah kalian! Apa yang kalian pelototi?! Cepat habisi dia!” Teriakan ini segera disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam Husain yang nampak sudah kewalahan itu. Dari sekian pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab berhasil menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari atas kuda. Pelipis kanan beliau menghempas pasir Karbala yang panas itu.
Beliau tetap bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. 
Beliau juga sempat bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup terpedaya oleh kehinaan dan ketercelaan. Terbunuhnya para pengikut beliau seiring dengan jerit tangis anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan dan pantang mundur. Ketabahan dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan. Saat itu kepada Tuhannya beliau berucap:
“Aku sabar atas garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan Yang Patut Disembah kecuali Engkau, wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan.”[4]
Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan:
“Dan para malaikatpun terkesima menyaksikan kesabaranmu.”[5]
Hati musuh sama sekali sudah buta dan mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu, tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut menggerogoti daya pertahanan beliau.
Dari arah sana Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah, dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.
“Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Jakfar!” Ratap Zainab tersedu-sedu. “Alangkah baiknya seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini berhamburan menimpa sahara.”[6]
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama, manusia biadab Umar bin Sa’ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Hazrat Zainab yang masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!” Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa’ad itu sehingga tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.[7]
Zainab berteriak lagi: “Adakah seorang Muslim diantara kalian?!” Tak seorangpun menjawabnya. Saat gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka mundur. Dengan tubuh yang sudah tercabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau berteriak:
“Hai umat yang paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad dengan menganiaya anak keturanannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian tidak akan mungkin takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah membunuhku kalian pasti akan gampang sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat mendambakan kemuliaan dari Allah dengan syahadah, lalu Dia akan menuntut balas darahku dari kalian tanpa kalian sadari.”[8]
10Muharram-08Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus panah beracun itu, beliau berucap: “Bismillahi wa billahi wa ‘ala millati rasulillah.”Beliau menatap langit dan berdesah lagi:” Ilahi, sesunggungnya Engkau mengetahui mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi.”[9]
Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke wajahnya sambil berucap: “Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah dalam keadaan berlumuran darah lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku.”[10]
Puas menatap pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya. Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:
“Ya Rabbi, aku bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang yang memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan Yang Patut disembah kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (humum)-Mu, wahai Pelindung orang-orang yang tak memiliki perlindungan, wahai Zat Yang Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang Menghidupkan orang yang sudah mati, wahai Zat Yang Menghakimi setiap jiwa sesuai perbuatannya, hakimilah antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para hakim.”[11]
Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak.
Diriwayatkan bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajab wajah kakek dan ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: “Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat merindukanmu di surga.”[12]
Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa’ad kembali buas dan memerintahkan anak buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap tajam wajah Shabats, tubuh pria kurang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa’ad: “Hai Putera Sa’ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain.”
Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. “Kenapa kamu tidak jadi membunuhnya?!” Tanya Samnan ketus.
Syabats menjawab: “Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah. Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul.”
Sannan dengan congkaknya berkata: “Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut untuk membunuhnya.” Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap: “Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran darah Husain.”
Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan celah untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. “Semoga ibumu meratapi kematianmu, kenapa urung membunuhnya!?” Maki Syimir.
Sannan menjawab: “Tatapan matanya mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak berani membunuhnya.”
Sambil menyeringai Syimir berseru: “Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha.”
Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak: “Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!” Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar lagi: “Ha, ha, ha, tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain” Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang tertutup kain itu malah keluar kata-kata:
“Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu itu. Demi Allah, akulah yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu.”
“Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?”
“Aku Syimir bin Dzil Jausyan!”
“Apakah kamu tahu siapa aku?”
“Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra.”
“Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara seperti ini?”
“Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah.”
“Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?”
“Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid.”
“Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air.”
“Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk kematian.”
Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk, kasar, belang, dan ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
“Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah.”
“Apa yang dikatakan kakekmu itu?!” Tanya Syimir angkuh. “Kakekku pernah berkata kepada ayahku, Ali: ‘Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling, bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.”
“Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari lehermu.”
10Muharram-09Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas, kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak. Dia antara mereka terdengar teriakan keras:
“Bergembiralah hai Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!” Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu.

No comments:

Post a Comment