Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Maka, kepada kaum wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci Imam Ahlul Bait as yang siap menyongsong kematian sakral itu berkata:
“Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian.” [1]
Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: “Sakinah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan segera tiba saatnya kalian dirundung nestapa.”[2]
Wajah Imam bersimbah air mata sehingga Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh sebagai tawanan?!”[3]
Sakinah juga bertanya: “Ayahku, apakah engkau akan menyerah kepada kematian?” [4]
“Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah tidak mendapati orang yang akan menolongku?!” Jawab Imam.
Sakinah berkata lagi: “Kalau begitu, lebih baik pulangkan kami ke tanah suci kakek.” [5]
Imam Husain menjawab: “Mana mungkin aku bisa memulangkan kalian? Andaikan mereka mau melepaskan diriku, tidak mungkin aku akan menjerumuskan diriku kepada kebinasaan..”Dzariayat Annajah hal.138[6]
Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau itu. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. “Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku korbankan.”
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:
“Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah putera Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka.”
Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: “Alwidaa’, alwidaa’, alfiraaq, alfiraaq.”[7]
Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum ditunggangi oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah. “Ayah! Ayah!” Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. “Aku haus, aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan.”
Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali kudanya menuju laskar iblis kerajaan Bani Umayyah itu. Di situ beliau mencoba untuk mengajukan permohonan.
“Hai putera Sa’ad!” Seru beliau. “Aku menginginkan darimu satu diantara tiga pilihan. Pertama, kamu bebaskan aku untuk kembali kembali ke tanah suci kakekku dan menetap di sana.”
“Itu tidak mungkin!” Sergah Ibnu Sa’ad dengan raut muka yang angkuh.
“Kedua,” Lanjut Imam. “Berilah kami air, karena keluargaku sedang tercekik dahaga.”
“Ini juga tidak bisa!” Teriak panglima pasukan Yazid dari Kufah itu.
Imam berkata lagi: “Kalau begitu, kalian tahu aku disini hanya seorang diri. Karenanya, sekarang aku minta satu diantara kalian maju berduel denganku.”
Umar bin Sa’ad menjawab: “Ini pekerjaan gampang. Saya terima permintaanmu untuk memulai duel.”
No comments:
Post a Comment