Perang Khaibar
Kemudian pada akhir Muharram tahun ke 7 Hijrah Rasulullah saw bergerak menuju Khaibar. Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki banyak benteng dan ladang, terletak sekitar 100 mil sebelah utara Madinah ke arah Syam.
Di dalam peperangan ini Rasulullah saw berangkat bersama 1400 tentara yang berjalan kaki dan menunggang kuda. Ibnu Hisyam berkata: “Setelah sampai di Khaibar Nabi saw berkata kepada para sahabatnya: “Berhentilah“, kemudian bermunajat kepada Allah :
"Ya Allah, Penguasa langit dan segala keteduhannya, Penguasa kami dengan segala isinya, Penguasa semua setan dengan segala penyesatannya, dan Penguasa angin dengan segala tiupannya, kami memohon kepada-Mu, ya Allah, semua kebajikan yang ada di pemukiman ini, segala yang baik penghuninya, dan segala kebaikan yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu, ya Allah, dari keburukan yang datang dari pemukiman ini, dari penghuninya dan dari apa yang ada di dalamnya.“
Setelah selesai bermunajat Rasulullah saw memerintahkan: “Majulah ….Bismillah…“.
Biasanya Nabi saw tidak akan mulai memerangi suatu kaum sampai waktu pagi datang. Jika beliau mendengar suara adzan di tempat itu beliau tidak jadi memerangi kaum itu. Jika tidak terdengar suara adzan maka beliau akan menyerang kaum itu. Kemudian Rasulullah saw bergerak maju. Ketika para petani Khaibar, yang membawa cangkul dan keranjang, menyaksikan kedatangan Nabi saw mereka lari terbirit-birit seraya berteriak “Muhammad datang beserta tentaranya.“ Menyaksikan hal ini kemudian Nabi saw bersabda :
"Allah Maha Besar! Binasalah Khaibar ! Bila kami tidak di halaman suatu kaum, maka pagi harinya orang-orang yang telah diberi peringatan akan mengalami nasib buruk“.
Ibnu Sa‘ad berkata: Kemudian Rasulullah saw menyampaikan nasehat kepada para sahabat dan membaginya beberapa panji kepada mereka. Akhirnya pertempuran pun berkecamuk antara Rasulullah saw dan penduduk Khaibar yang bertahan di benteng-benteng mereka. Benteng demi benteng berhasil ditaklukan kecuali dua benteng: Al-Wathih dan benteng Sulalim. Rasulullah saw mengepung kedua benteng ini selama sepuluh malam.
Imam Ahmad, Nasa‘i, Ibnu Hibban dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits Buraidah bin Khashib ia berkata: Pada waktu perang Khaibar, Abu Bakar memegang panji tetapi tidak berhasil menaklukkannya lalu ia kembali. Keesokkan harinya panji itu diambil Umar ra, tetapi ia pun tidak berhasil menaklukkannya. Kemudian Nabi saw bersabda: "Besok pagi panji peperangan akan kuserahkan kepada seseorang yang melalui kedua tangannya Allah akan menaklukannya (perkampungan ini). Seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.“
Sepanjang malam banyak para sahabat yang meraba-raba siapakah gerangan yang akan diserahi panji itu? Keesokkan harinya mereka berdatangan kepada Nabi saw. Semua mengharapkan diserahkannya panji itu kepada dirinya. Kemudian Rasulullah saw bertanya: “Dimana Ali?“ Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah saw ia sedang sakit mata.“ Setelah Ali dibawa ke hadapan Rasulullah saw lalu beliaupun meludahi kedua mata Ali seraya berdo‘a. Saat itu pula kedua mata Ali sembuh, kemudian Rasulullah saw menyerahkan panji kepadanya. Ali bertanya: “Wahai Rasulullah saw, apakah aku harus memerangi mereka sampai mereka jadi seperti kita (Muslim)?“ Jawab Nabi saw :
"Kerjakanlah! Tetapi jangan tergesa-gesa. Tunggu sampai engkau tiba di halaman mereka. Kemudian ajaklah mereka memeluk Islam dulu dan beritahukan mereka kewajiban apa yang harus mereka lakukan terhadap Allah. Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seorang dari mereka melalui engkau, itu lebih baik daripada engkau memperoleh nikmat yang berupa onta merah.“
Kemudian Ali maju bertempur hingga berhasil menaklukannya. Dan kaum Muslimin pun mengambil semua harta yang ada di dalam benteng-benteng itu sebagai barang rampasan.
Di sekitar kedua benteng yang belum bisa ditaklukan itu kaum Muslimin terus melakukan pengepungan. Setelah orang-orang yang ada di dalam benteng merasa tidak berdaya akhirnya mereka meminta kepada Rasulullah saw agar mengeluarkan dan melindungi darah mereka, dan mereka rela menyerahkan harta kepada Rasulullah saw. Permintaan ini akhirnya disetujui oleh Rasulullah saw.
Di samping itu mereka juga meminta kepada Rasulullah saw untuk bisa tetap menggarap tanah Khaibar, karena mereka lebih tahu tentang pengelolaan tanah garapan itu, dengan imbalan separuh dari hasil panennya. Permohonan ini dikabulkan oleh Nabi saw tetapi dengan persyaratan yang dikemukakan Nabi saw: “Kalau kami hendak mengusir kalian maka kalian harus bersedia kami usir.“
Ibnu Ishaq berkata: “Setelah Rasulullah saw merasa aman dan tentang Zainab binti al-Harits, istri Sallam bin Misykan, menghadiahkan kambing bakar kepada beliau. Sebelumnya Zainab telah bertanya daging bagian manakah yang paling disukai Rasulullah saw? Dikatakan kepadanya: Daging bagian paha. Kemudian dia menaburkan racun ke seluruh kambing itu terutama bagian pahanya. Setelah dihidangkan maka Rasulullah saw pung mencicipi dan mengunyahnya tetapi tidak sampai ditelan. Sedang Basyar bin Barra‘ bin Ma‘rur yang ikut mencicipi bersama Rasulullah saw telah mengunyah dan menelannya. Rasulullah saw memuntahkan kunyahan itu seraya berkata: “Tulang ini memberitahukan kepadaku bahwa ia mengandung racun.“ Kemudian Nabi saw memanggil wanita itu dan mengakui perbuatannya. Nabi saw bertanya: “Kenapa kamu lakukan itu ?“ Ia menjawab: “Anda telah bertindak terhadap kaumku sedemikian rupa. Kalau anda seorang raja (akan mati karena racun) dan aku merasa lega, tetapi kalau anda benar seorang nabi tentu anda akan diberitahu (oleh Tuhan tentang racun itu).“ Perempuan itu kemudian dilepaskan oleh Rasulullah saw. Akibat makan daging beracun itu, Basyar bin Barra‘ meninggal dunia.
Az-Zuhri dan Sulaiman at-Taimi memastikan di dalam Maghazinya bahwa wanita itu kemudian masuk Islam. Tetapi para ahli sejarah berselisih pendapat apakah Nabi saw mengqishasnya atas kematian Basyar atau tidak. Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dengan beberapa sanad bahwa Nabi saw menyerahkan kepada keluarga Basyar kemudian mereka membunuhnya. Tetapi yang shahih adalah riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi saw bersabda kepadanya: “Allah tidak akan mengizinkan kamu untuk membunuhku.“ Para sahabat bertanya: “Apakah kita tidak membunuhnya wahai Rasulullah?“ Jawab Nabi: “Tidak“.
Rasulullah saw membagikan barang rampasan perang Khaibar kepada kaum Muslimin. Bagi yang berjalan kaki mendapatkan satu saham sedangkan bagi seekor kuda mendapatkan dua saham. Nafi‘ ra di dalam riwayat Bukhari, menafsirkan hal tersebut dengan: Jika seorang membawa seekor kuda maka dia mendapatkan tiga saham, jika tidak maka dia mendapatkan satu saham.
Shafiyah binti Hiyai bin Akhthab pemimpin Yahudi Khaibar termasuk di antara para wanita Yahudi yang jatuh sebagai tawanan di tangan salah seorang sahabat Nabi saw. Oleh Rasulullah saw wanita Yahudi itu diminta dari sahabatnya, kemudian dimerdekakan dan dinikahi oleh beliau setelah masuk Islam dan pembebasannya itu dijadikan sebagai maharnya.
Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press
No comments:
Post a Comment