Oleh : Muhammad Bajuri
Allah SWT berfirman, ”Istikomahlah kamu sebagaimana engkau telah diperintahkan.” (QS Hud [11]:112). Sasaran ayat ini bukan hanya Rasulullah SAW, tetapi seluruh hamba-Nya. Sebab, istikamah adalah kunci pembuka kemuliaan. Bahkan sebagian ulama menempatkan istikomah pada tingkatan puncak dari tangga pendakian seorang hamba menuju kesempurnaan makrifat, kebeningan hati, dan kemurnian akidah.
Sufyan bin Abdillah Ats Tsaqafi berkata, ”Wahai Rasulullah SAW, katakanlah suatu perkataan kepadaku tentang Islam, sehingga aku tidak perlu lagi bertanya kepada siapapun selain engkau.” Beliau bersabda, ”Katakan aku beriman kepada Allah SWT, lalu istikomahlah.” (HR Ahmad).
Konsep istikomah tidak sesederhana seperti yang sering dipahami selama ini. Istikomah seringkali diidentikkan dengan kontinyuitas sebuah amal. Al Qurthubi menyatakan bahwa ayat istikomah (QS Hud:112) telah membuat rambut Nabi Muhammad SAW beruban.
Diceritakan bahwa Abi Ali Asy-Syanawi mengaku pernah melihat Rasulullah SAW dalam mimpi. Dia kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah SAW, ada sebuah riwayat darimu bahwa engkau pernah berkata, Surat Hud telah membuat kepala beruban.” Beliau menjawab, ”Benar.” Asy Syanawi bertanya kembali, ”Ayat apakah yang membuat rambutmu beruban, apakah ayat yang menceritakan tentang kisah-kisah para Nabi atau kehancuran umat terdahulu?” Beliau bersabda, ”Tidak, tetapi disebabkan ayat yang berbunyi, ‘istikomahlah kamu sebagaimana engkau telah diperintahkan’.” (Muhammad bin Allan Ash Shadiqi, Dalil Al Falihin, I/282).
Secara bahasa, kata istikomah merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata istaqama, yastaqimu yang artinya lurus, teguh, dan konsisten. Namun, pengertian secara bahasa ini belumlah cukup untuk mewujudkan istikomah sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Oleh karena itu, ulama tasawuf mendefinisikan bahwa istikomah adalah bersikap konsisten terhadap pengakuan iman dan Islam, serta dengan tulus mengabdikan diri kepada Allah SWT untuk mengharapkan ridha-Nya di dunia dan akhirat.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan para ulama, dapat dipahami bahwa dalam beristikamah ada dua hal pokok yang harus dipenuhinya. Pertama, beriman kepada Allah SWT. Kedua, mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, baik secara lahir maupun batin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang istikomah adalah orang yang bisa mengaktualisasikan nilai keimanan, keislaman, dan keihsanan dalam dirinya secara total.
Meski untuk bisa mencapai tingkatan istikomah itu terasa amat sulit, namun kita harus tetap berusaha dan ber-munajah semampu kita. Sebab, seperti dikatakan Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat istikomah (QS Hud:112) ini, bahwa istikomah merupakan media yang paling baik untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT dalam menghadapi berbagai kesulitan duniawi. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment